Latar belakang: Stroke pada daerah pons sering dianggap memiliki prognosis buruk, menyumbang sekitar 7-10% dari perdarahan intraserebral. Perdarahan pons primer (Primary Pontine Hemorrhage/PPP) biasanya disebabkan oleh hipertensi kronis yang tidak terkontrol, dan memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Berbagai skor prognosis seperti skor PPP, PIS, dan skala PIS telah dikembangkan untuk memprediksi luaran pasien.
Kasus: Penulis menyajikan tiga kasus stroke perdarahan pada pons dengan luaran yang berbeda. Kasus 1: pasien laki-laki usia 56 tahun, skor PPP 4, skor PIS 4, dan skor skala PIS 10, meninggal pada hari ke-2 perawatan. Kasus 2: pasien perempuan usia 60 tahun, skor PPP 3, skor PIS 3, dan skor skala PIS 10, meninggal pada hari ke-5 perawatan. Kasus 3: pasien laki-laki usia 58 tahun, skor PPP 3, skor PIS 3, dan skor skala PIS 8, dirawat selama 20 hari dengan perbaikan klinis dan dipulangkan.
Diskusi: Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan prognosis pada ketiga kasus antara lain skor GCS awal, usia, volume perdarahan, dan keterlibatan ventrikel. GCS rendah dan volume perdarahan besar berhubungan dengan luaran buruk, seperti terlihat pada kasus 1 dan 2. Kasus 3 menunjukkan prognosis lebih baik karena GCS tinggi dan volume perdarahan lebih kecil.
Kesimpulan: Skor PPP, PIS, dan skala PIS dapat menjadi prediktor prognosis pada pasien dengan perdarahan pons primer, dan dapat membantu klinisi dalam pengambilan keputusan serta memberikan informasi yang tepat kepada keluarga pasien.
Kata kunci: Prognosis, Skor PPP, Skor PIS, Skor Skala PIS, Stroke Pons
Hipertensi Perdarahan pontin primer (PPP) adalah stroke parah yang terjadi di pons, bagian batang otak yang penting untuk fungsi vital seperti pernapasan dan kontrol motorik. PPP mencakup sekitar 7% hingga 10% dari semua perdarahan intrakranial dan terutama disebabkan oleh hipertensi kronis, yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah.1,2 Prognosis untuk PPP seringkali buruk, dengan tingkat kematian yang tinggi dan disabilitas jangka panjang yang signifikan di antara para penyintas. Di Asia, terutama di wilayah seperti Tiongkok dan Jepang, insidensi PPP tercatat lebih tinggi karena prevalensi hipertensi, faktor risiko utama.3 Secara global, PPP menunjukkan tingkat kematian dan morbiditas yang tinggi, menjadikannya masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Data epidemiologi menunjukkan bahwa PPP memengaruhi kedua jenis kelamin, tetapi insidensinya cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada individu berusia di atas 60 tahun.1,3
Perdarahan pons menimbulkan tantangan signifikan baik dalam manajemen klinis maupun prognosis. Prognosis pasien yang menderita perdarahan pontine sering serius, mengingat peran penting pons dalam mengatur fungsi vital seperti pernapasan, kesadaran, dan koordinasi. Namun, faktor prognostik yang mempengaruhi hasil perdarahan pontine tetap kompleks dan beragam, memerlukan pemahaman yang komprehensif untuk memandu pengambilan keputusan klinis dan mengoptimalkan perawatan pasien. Hal–hal yang perlu diselidiki meliputi dampak volume perdarahan, lokasi di dalam pons, status neurologis saat datang, komorbiditas, dan kemanjuran berbagai strategi pengobatan.
Prognosis pada PPP dipandu oleh sistem skoring seperti skor Primary Pontine Hemorrhage (PPH) dan skor Intracerebral Hemorrhage (ICH). Skor PPP mencakup skor Glasgow Coma Scale (GCS), refleks cahaya pupil, dan kadar glukosa darah.4 Penelitian lain menyebutkan indikator lain untuk perdarahan pons yaitu volume perdarahan dan skor Glasgow Coma Scale (GCS).5 Komponen skor Intracerebral Hemorrhage (ICH) mencakup faktor-faktor seperti usia dan volume perdarahan, keterlibatan ventrikel, letak perdarahan di infratentorial, dan skor Glasgow Coma Scale (GCS).6,7,8,9 Skoring ini membantu memprediksi hasil dan membimbing keputusan pengobatan.
Skor prognosis menginformasikan intensitas dan jenis intervensi. Skor PPP yang tinggi, yang menunjukkan gangguan parah, mungkin memerlukan perawatan agresif, sementara skor yang lebih rendah mungkin lebih diuntungkan dengan perawatan suportif.10 Skor yang akurat memastikan alokasi sumber daya yang tepat dan membantu menetapkan ekspektasi yang realistis bagi pasien dan keluarga.11
Memahami prognosis perdarahan pontine sangat penting bagi dokter untuk menyesuaikan pengobatan, memprediksi secara akurat, dan memfasilitasi intervensi rehabilitasi tepat waktu. Selain itu, menjelaskan faktor prognostik dapat membantu dalam pengembangan model prediksi dan skor prognostik, sehingga meningkatkan stratifikasi risiko dan menginformasikan pengambilan keputusan terapeutik.
Seorang wanita, usia 47 tahun, datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, diawali dengan keluhan nyeri kepala hebat di seluruh sisi 4 jam sebelumnya, kemudian disusul keluhan bicara cadel dan kelemahan di ekstremitas sisi kanan. Keluhan tersebut terjadi mendadak ketika pasien sedang berbaring di tempat tidur. Disangkal adanya mual, muntah proyektil, hilang kesemutan, kejang, gangguan penglihatan, maupun riwayat trauma.
Pasien memiliki riwayat keluhan sering mengalami nyeri kepala seluruh sisi yang dirasakan hilang timbul sejak 1 tahun sebelumnya, tetapi tidak pernah periksa ke dokter dan hanya minum obat nyeri sebagai pereda. Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol tanpa obat antihipertensi. Tidak pernah ada keluhan serupa sebelumnya dan hal ini baru terjadi pertama kali dialami oleh pasien. Riwayat penyakit ginjal, penyakit jantung dan kolesterol tidak diketahui oleh pasien. Keluarga pasien memiliki riwayat hipertensi yang dialami oleh kedua orang tua dan saudara kandung pasien. Riwayat stroke juga dialami oleh kakak kandung pasien.
Saat datang ke instalasi gawat darurat, GCS pasien adalah E2M2V2, tekanan darah 220/116 mmHg pada kedua ekstremitas dengan MAP (Mean Arterial Pressure) 150 mmHg, denyut nadi 101 kali per menit reguler dengan konsistensi kuat dan tanpa pulsus defisit, frekuensi napas 27 kali per menit reguler dengan pola pernapasan cepat dan dalam, saturasi oksigen 100%, dan suhu 36.6 derajat. Pada pemeriksaan fisik mata berupa ukuran diameter pupil 2mm/2mm dengan refleks kedua pupil terhadap cahaya melambat. Pemeriksaan paru ditemukan retraksi suprasternal dan subkostal di kedua paru tetapi tidak ditemukan adanya suara ronki maupun mengi, jantung menunjukkan irama yang reguler dan tidak ditemukan adanya pembesaran jantung.
Pemeriksaan neurologis ditemukan defisit neurologis berupa penurunan kesadaran dengan GCS 6 E2M2V2, nervus kranilais menunjukkan kesan paresis nervus VII dan XII, kesan motorik hemiparesis dupleks, dan ditemukan refleks patologis babinski dan chaddock positif di kedua sisi. Nilai National Institutes of Health Score Scale (NIHSS) pasien adalah 21.
Pemeriksaan penunjang laboratorium menunjukkan hemoglobin 13,3 g/dL, leukosit 29.000/mm3, dan trombosit 363.000/mm3. Glukosa darah saat pasien masuk 221 mg/dL. Profil lipid menunjukkan trigliserida 181 mg/dL, kolesterol HDL 36 mg/dL, kolesterol LDL 139 mg/dL, dan kolesterol total 198 mg/dL.
Berdasarkan hasil CT scan didapatkan perdarahan intraparenkim pons dengan estimasi volume perdarahan 7,5 cc, disertai edema perifokal yang menyempitkan ventrikel IV sehingga didapatkan skor PIS 4, skor skala PIS 10, dan skor PPP 4.
Diagnosis stroke hemoragik pons ditegakkan dan segera mendapatkan tatalaksana. Pasien tidak dilakukan tindakan operatif dan hanya mendapatkan tatalaksana konservatif selama di rumah sakit. Pasien segera mendapatkan terapi nicardipin injeksi intravena 5 mg pada 1 jam pertama untuk menurunkan tekanan darah dan mannitol 20% 350 mL intravena loading dalam 20 menit dan dilanjutkan mannitol 20% 4 x 150 mL.
Pada perawatan hari kedua, GCS pasien semakin memburuk E1M1V1, tekanan darah 74/42 mmHg, denyut nadi 104 kali per menit reguler teraba lemah, frekuensi napas 9 kali per menit. Kemudian pasien diberikan tatalaksana vascon 100 mL dengan dosis 0,05 mcg/jam, tetapi pasien tidak mengalami perbaikan dengan tekanan darah 65/35 mmHg, mengalami henti napas, denyut nadi arteri radialis tidak teraba, sehingga pasien dilakukan resusitasi jantung paru. Pasien meninggal setelah 2 hari perawatan di rumah sakit.
Seorang pria, usia 71 tahun, datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan kelemahan pada ekstremitas kanan secara mendadak saat pasien sedang istirahat diikuti penurunan kesadaran beberapa menit kemudian sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan pasien diawali sakit kepala seluruh sisi dan cadel saat berbicara sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan mual, muntah proyektil, kejang, demam, maupun riwayat trauma kepala sebelumnya disangkal.
Pasien memiliki riwayat serangan stroke 4 tahun sebelumnya, riwayat hipertensi sejak 20 tahun lalu, mendapatkan terapi amlodipin 1 x 10 mg tetapi tidak terkontrol. Riwayat penyakit diabetes melitus, jantung, dan ginjal disangkal.
Saat datang ke instalasi gawat darurat, GCS pasien adalah E3M4V3, tekanan darah 184/86 mmHg pada kedua ekstremitas dengan MAP (Mean Arterial Pressure) 118 mmHg. Pada pemeriksaan fisik mata ditemukan refleks pupil terhadap cahaya langsung dan tidak langsung positif pada kedua mata dengan respon cepat dan diameter 3mm/3mm. Pemeriksaan neurologis kekuatan motorik ditemukan defisit neurologis berupa hemiparese dextra. Nilai National Institutes of Health Score Scale (NIHSS) pasien adalah 14.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 13,5 g/dL, GDS 130 mg/dL, profil lipid trigliserida 187 mg/dL, kolesterol HDL 55 mg/dL, kolesterol LDL 103 mg/dL, dan kolesterol total 174 mg/dL.
Berdasarkan hasil CT scan didapatkan perdarahan intraparenkim di talamus kiri hingga korona radiata kiri, dan pons dengan estimasi volume perdarahan sekitar 39,3 mL, herniasi subfalcine sejauh sekitar 0,4 cm ke kanan, perdarahan intraventrikel lateralis bilateral, ventrikel III, foramen monroe, dan ventrikel IV, ditemukan infark kronis di lobus frontal kanan, ganglia basalis kanan dan korona radiata kanan sehingga didapatkan skor PIS 3, skor skala PIS 10, dan skor PPP 3.
Pasien dirawat di High Care Unit, pada hari ke-4 perawatan GCS sempat mengalami perbaikan yaitu E4M5Vafasia, mendapatkan terapi manitol 20% inisial 250 mL loading injeksi intravena selama 20 menit dan dilanjutkan manitol 20% dosis 4 x 125 mL injeksi intravena. Pasien meninggal setelah 5 hari perawatan intensif di rumah sakit.
Seorang pria, usia 43 tahun, datang ke instalasi gawat darurat dengan kelemahan ekstremitas sinistra mendadak disertai penurunan kesadaran sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 8 tahun sebelumnya terkontrol dengan candesartan 1 x 16 mg, dan riwayat diabetes melitus tipe 2 dengan terapi insulin long acting tetapi tidak terkontrol. Saat ini pasien memiliki penyakit gagal ginjal stadium 5 dan sedang menjalani terapi dialisis rutin dengan CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis) sejak 4 tahun sebelumnya.
Pasien datang dengan GCS E3M4V3, tekanan darah 222/104 mmHg dengan MAP (Mean Arterial Pressure) 143 mmHg, denyut nadi 119 kali per menit reguler teraba kuat dan tanpa pulsus defisit, frekuensi napas 31 kali per menit dengan pola napas cepat dan dangkal, napas spontan tanpa bantuan oksigen, saturasi oksigen 98%, dan suhu 36,5 derajat.
Pada pemeriksaan fisik mata ditemukan refleks pupil terhadap cahaya positif di kedua mata dengan diameter 2 mm/2 mm, pemeriksaan paru didapatkan adanya retraksi intrakosta tanpa disertai suara napas ronki maupun mengi. Pemeriksaan jantung tidak ditemukan adanya pembesaran jantung maupun bunyi jantung tambahan.
Pemeriksaan neurologis nervus kranialis ditemukan disfagia, paresis nervus kranial VII dan XII sinistra. Kekuatan motorik kesan hemiparesis sinistra, refleks fisiologis ekstremitas atas 2/2 dan ekstremitas bawah 2/2, tidak ditemukan refleks patologis pada seluruh pemeriksaan grup babinski. Pemeriksaan sensorik sulit dievaluasi. Nilai National Institutes of Health Score Scale (NIHSS) pasien adalah 12.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 10,1 g/dL, leukosit 10.000/mm3, dan trombosit 247.000/mm3. Gula darah sewaktu pasien adalah 347 mg/dL sebelum disuntikkan insulin long acting yang sudah menjadi terapi diabetes melitus tipe 2 pada pasien.
Berdasarkan hasil CT scan kepala ditemukan perdarahan intraparenkim pons hingga cerebellum kanan dengan estimasi volume perdarahan total 6,5 mL yang menyempitkan ventrikel IV sehingga menyebabkan hidrosefalus non komunikans sehingga didapatkan skor PIS 3, skor skala PIS 8, dan skor PPP 3.
Selama perawatan di rumah sakit, pasien mendapatkan terapi konservatif dan tidak dilakukan tindakan operatif. Pasien mendapatkan terapi manitol 20% 250 mL injeksi intravena loading selama 20 menit saat di instalasi gawat darurat lalu dilanjutkan dosis 4 x 125 mL pada hari selanjutnya. Untuk menurunkan tekanan darah, pasien diberikan nicardipin 5 mg dalam 1 jam pertama secara injeksi intravena saat di instalasi gawat darurat dan diberikan terapi nicardipin drip 2 mg per jam dan actravid drip 1 unit per jam selama perawatan di ruang perawatan high care unit.
Selain itu, pasien mendapatkan terapi neuroprotektan oral berupa asam folat 1 x 1 mg dan citicoline 1 x 500 mg. Nilai National Institutes of Health Score Scale (NIHSS) pasien adalah 10.
Pada hari ke-7 perawatan pasien mengalami perbaikan kesadaran dengan GCS kompos mentis E4M6Vafasia, tekanan darah 151/86 mmHg dengan terapi nicardipin drip 2 mg per jam, pasien dapat membuka mata spontan, dapat merespon pertanyaan dan mengikuti perintah sederhana.
Pemeriksaan neurologis masih ditemukan adanya defisit neurologis berupa afasia motorik, paresis nervus kranial VII dan XII sinistra, serta hemiparesis sinistra. Selama perawatan pasien juga dikonsulkan ke dokter spesialis rehabilitasi medik untuk terapi wicara. Pada hari ke-10 pasien mulai bisa mengucapkan beberapa kata tetapi artikulasi belum jelas.
Kondisi pasien berangsur membaik pada hari perawatan ke-13 dengan perbaikan dengan GCS E4M6Vdisartria, pemeriksaan nervus kranialis ditemukan paresis N. VII dan XII sinistra, kekuatan motorik ekstremitas atas 5555/4333 dan ekstremitas bawah 5555/4432 dengan kesan hemiparesis sinistra. Pasien kemudian dipulangkan setelah dirawat intensif selama 20 hari di rumah sakit.
Skor perdarahan intraserebral (PIS), dikembangkan oleh Hemphill et al. (2001), adalah skala penilaian sederhana dan andal yang digunakan untuk memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari. Total skor PIS berkisar dari 0 hingga 6, dengan skor lebih tinggi menunjukkan tingkat kematian yang lebih tinggi. Sebagai contoh, skor PIS 0 memiliki tingkat kematian dalam 30 hari sebesar 0%, sementara skor 6 memiliki tingkat kematian hampir 100%.
Kemudian skor ini dimodifikasi oleh Ruiz-Sandoval et al. (2007) menjadi Skor ICH-GS (Intrakranial hemorrhage Grading Scale), peningkatan dari skor ICH yang dirancang untuk memperbaiki prediksi hasil, termasuk tingkat kematian di rumah sakit dan dalam 30 hari serta hasil fungsional dalam 30 hari. Skor ini mencakup komponen yang lebih rinci dan spesifik. Skor ICH-GS berkisar dari 5 hingga 13 poin, dengan skor lebih tinggi menunjukkan tingkat kematian yang lebih tinggi dan hasil fungsional yang lebih buruk. Skala ini menyediakan model prediksi yang lebih halus dengan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan skor PIS.6,8
ICH-GS** | Poin | ICH* skor | Poin |
---|---|---|---|
Umur | |||
< 45 tahun | 1 | < 80 tahun | 0 |
45 – 64 tahun | 2 | > 80 tahun | 1 |
> 65 tahun | 3 | ||
GCS saat masuk RS | |||
13 – 15 | 1 | 13 – 15 | 0 |
9 – 12 | 2 | 5 – 12 | 1 |
3 – 8 | 3 | 3 – 4 | 2 |
Lokasi ICH | |||
Supratentorial | 1 | Supratentorial | 0 |
Infratentorial | 2 | Infratentorial | 1 |
Volume ICH | |||
Lokasi Supratentorial | < 40 mL = 1 40 – 70 mL = 2 > 70 mL = 3 |
< 30 mL | 0 |
Lokasi Infratentorial | < 10 mL = 1 10 – 20 mL = 2 > 20 mL = 3 |
> 30 mL | 1 |
Keterlibatan Intraventrikel | |||
Tidak | 1 | ||
Ya | 2 |
Keterangan:
* Skor ICH (Intracerebral Hemorrhage)
** Skor ICH-GS (Intrakranial hemorrhage Grading Scale)
Volume ICH dihitung menggunakan metode: ABC/2
A : diameter terpanjang pada slice dengan gambaran perdarahan terluas (dalam cm).
B : diameter tegak lurus terhadap A (dalam cm).
C : jumlah slice dengan gambaran perdarahan x ketebalan slice (dalam cm).
Skor ICH (Intracerebral Hemorrhage) Awalnya divalidasi oleh Hemphill et al. (2001), skor ICH telah banyak digunakan dan divalidasi di berbagai populasi. Skor ini dipuji karena kesederhanaan dan kemudahannya, tetapi memiliki keterbatasan dalam hal sensitivitas. Skor ICH-GS (Intrakranial hemorrhage Grading Scale) Ruiz-Sandoval et al. (2007) menunjukkan bahwa skor ICH-GS menjelaskan lebih banyak variasi dalam hasil dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dalam memprediksi tingkat kematian di rumah sakit dan dalam 30 hari. Skor ICH-GS juga berkinerja baik dalam memprediksi hasil fungsional yang baik dalam 30 hari, menjadikannya alat yang kuat dan andal untuk penggunaan klinis.
Skor ICH (Intracerebral Hemorrhage) memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari berdasarkan skala dari 0 hingga 6. Skor rendah (0-1) menunjukkan tingkat kematian yang rendah dan prospek pemulihan yang lebih baik, biasanya melibatkan pasien yang lebih muda dengan perdarahan yang lebih kecil, skor GCS yang lebih tinggi, dan tidak adanya perdarahan intraventrikular (IVH). Skor menengah (2-3) mencerminkan risiko sedang dengan peningkatan tingkat kematian, melibatkan pasien dengan perdarahan yang lebih besar, skor GCS yang lebih rendah, atau adanya IVH. Skor tinggi (4-6) dikaitkan dengan tingkat kematian yang sangat tinggi, seringkali melebihi 90%, yang menunjukkan cedera otak parah, usia lanjut, volume perdarahan yang signifikan, dan lokasi infratentorial, yang mengarah pada prognosis yang buruk dan peluang bertahan hidup yang minimal.6
Skor ICH-GS memprediksi hasil pasien berdasarkan skor yang berkisar dari 5 hingga 13 poin. Skor rendah (5-6) menunjukkan tingkat kematian yang rendah dan prospek pemulihan yang lebih baik, biasanya melibatkan pasien yang lebih muda dengan perdarahan yang lebih kecil dan skor GCS yang lebih tinggi. Skor menengah (7-8) mencerminkan risiko sedang dengan peningkatan tingkat kematian dan hasil yang lebih buruk. Skor tinggi (9-10) dikaitkan dengan tingkat kematian yang signifikan (sekitar 40%) dan komplikasi berat. Skor tertinggi (11-13) menunjukkan tingkat kematian yang sangat tinggi (lebih dari 86%), dengan pasien yang lebih tua, perdarahan yang lebih besar, dan keterlibatan intraventrikular yang luas menghadapi prognosis yang paling buruk.8
Prognosis pasien stroke pons juga dapat dinilai secara efektif menggunakan sistem skor primary pontine hemorrhage (PPH) yang selanjutnya disebut skor perdarahan pons primer (PPP), yang mencakup skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan volume perdarahan. Skor GCS yang lebih rendah saat masuk, terutama skor 3-4 (diberi 2 poin), dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi. Volume perdarahan juga sangat penting: volume lebih dari 10 mL diberi 2 poin, 5-10 mL mendapat 1 poin, dan kurang dari 5 mL mendapat 0 poin. Pasien dengan skor PPH 0 memiliki tingkat kematian 30 hari sebesar 2,7%, sedangkan skor 4 menunjukkan tingkat kematian 100%.11
Meguro et al. (2015), dalam jurnalnya mengemukakan tentang skor perdarahan pons primer yang terdiri dari tiga komponen utama: skor Glasgow Coma Scale (GCS), refleks cahaya pupil, dan kadar glukosa darah. Sistem penilaian ini memberikan 1 poin masing-masing untuk:
Interpretasi skoring:
Skor | Interpretasi | Tingkat Kematian 30 Hari |
---|---|---|
0 | Risiko kematian rendah | ~7,7% |
1 | Risiko menengah | ~33,3% |
2 | Risiko tinggi | ~78,9% |
3 | Risiko sangat tinggi | 100% |
Keterangan: * PPH: Skor primary pontine hemorrhage
Komponen skor PPP (Huang et al., 2017) | Komponen skor PPP (Meguro et al., 2015) | ||
---|---|---|---|
Komponen Skor | Poin | Komponen Skor | Poin |
Skor GCS 3–4 | 2 | Skor GCS < 6 | 1 |
Skor GCS 5–7 | 1 | Skor GCS > 7 | 0 |
Skor GCS 8–15 | 0 | Refleks pupil: Tidak ada | 1 |
Volume perdarahan ? 10 mL | 2 | Refleks pupil: Ada | 0 |
Volume perdarahan 5–10 mL | 1 | Gula darah sewaktu ? 180 mg/dL | 1 |
Volume perdarahan < 5 mL | 0 | Gula darah sewaktu < 180 mg/dL | 0 |
Keterangan: * Skor ICH (Intracerebral Hemorrhage), ** Skor ICH-GS (Intrakranial hemorrhage Grading Scale)
Kasus | GCS | Umur (Tahun) | Volume Perdarahan (mL) | Keterlibatan Intraventrikel | Keterlibatan Infratentorial | Total Skor ICH* | Total Skor ICH-GS** |
---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | 6 | 47 | 7,5 | Ya | Ya | 4 | 10 |
2 | 10 | 71 | 39,3 | Ya | Ya | 3 | 10 |
3 | 11 | 44 | 6,5 | Ya | Ya | 3 | 8 |
Dalam tabel di atas kita bisa melihat bahwa stroke perdarahan pada pons terjadi pada usia menengah hingga lanjut. Insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang signifikan pada populasi yang lebih tua. Tren ini meningkat disebabkan oleh prevalensi hipertensi kronik yang merupakan faktor risiko utama perdarahan pons pada orang tua12.
Patofisiologi PPP pada orang dewasa yang lebih tua, seperti pada kasus 2 (71 tahun), sering kali terkait dengan perubahan vaskular akibat penuaan yang membuat pembuluh darah kecil di pons rentan pecah di bawah kondisi hipertensi6. PPP juga dapat terjadi pada individu yang lebih muda, meskipun lebih jarang. Ketika PPP terjadi pada pasien muda, sering kali dikaitkan dengan kelainan vaskular kongenital atau didapat, seperti malformasi arteriovenosa atau angioma kavernosa, yang dapat menyebabkan perdarahan spontan di pons13. Selain itu, faktor gaya hidup termasuk merokok dan konsumsi alkohol dapat memperburuk risiko perdarahan pada individu muda dengan berkontribusi pada perkembangan hipertensi dan kerapuhan vaskular11,4.
Individu pada usia pertengahan seperti pada kasus 1 (47 tahun) dan kasus 3 (44 tahun) memiliki riwayat hipertensi kronik. Individu yang lebih muda dengan hipertensi yang tidak terkontrol juga berisiko9. Studi menunjukkan bahwa insiden PPH lebih tinggi pada pasien dengan riwayat hipertensi jangka panjang, menekankan pentingnya pengelolaan tekanan darah dalam mencegah perdarahan semacam ini14. Patofisiologinya melibatkan mikroangiopati hipertensif, di mana tekanan darah tinggi yang berkepanjangan menyebabkan degenerasi dan pecahnya arteri penetran di pons, mengakibatkan perdarahan15. Manajemen hipertensi yang efektif melalui perubahan gaya hidup dan kepatuhan pengobatan sangat penting untuk mengurangi insiden dan keparahan PPP.
Ketiga kasus menunjukkan keterlibatan perdarahan intraventrikel dan perdarahan infratentorial. Lokasi perdarahan infratentorial terjadi di bawah tentorium cerebellum, mencakup batang otak (mesensefalon, pons, dan medulla oblongata) yang sangat penting untuk mengatur fungsi vital seperti pernapasan, detak jantung, dan kesadaran. Sebaliknya, perdarahan supratentorial terjadi di atas tentorium cerebelli dan memengaruhi hemisfer serebral.
Implikasi prognostik berbeda secara signifikan antara kedua lokasi tersebut. Perdarahan infratentorial, terutama di batang otak seperti pons, dikaitkan dengan risiko tinggi defisit neurologis berat dan mortalitas karena fungsi vital yang dikendalikan oleh wilayah ini. Kondisi ini kritis karena ruang yang terbatas di fossa posterior dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang cepat dan kompresi struktur otak vital6,16,17.
Keterlibatan ventrikel pada stroke pontine sangat memengaruhi prognosis karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan memperluas cedera otak. Jika perdarahan meluas ke dalam sistem ventrikel, aliran cairan serebrospinal (CSF) dapat terhambat, menyebabkan hidrosefalus yang memperparah pembengkakan otak dan meningkatkan risiko herniasi. Tekanan tambahan ini dapat mengganggu fungsi vital batang otak seperti regulasi pernapasan dan detak jantung, yang sudah terganggu pada stroke pontine. Studi menunjukkan bahwa keberadaan IVH (intraventricular hemorrhage) secara signifikan memperburuk hasil klinis6,17,18,10,19.
Kadar glukosa darah yang tinggi tercatat pada ketiga kasus di atas. Kenaikan gula darah, yaitu lebih dari atau sama dengan 180 mg/dL, terkait dengan hasil yang lebih buruk dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia dapat memperburuk cedera otak melalui beberapa mekanisme, termasuk peningkatan stres oksidatif, gangguan pada sawar darah-otak, dan peningkatan respons inflamasi, yang semuanya dapat menyebabkan penurunan neurologis lebih lanjut.
Penyertaan glukosa darah sebagai komponen penilaian membantu dalam mengelompokkan tingkat risiko pasien dan meningkatkan akurasi prognosis. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat glukosa darah yang tinggi saat masuk rumah sakit secara independen terkait dengan peningkatan kematian dini, menjadikannya faktor penting dalam sistem penilaian PPH.
Tabel 4. Total Skor PPH pada Pasien Kasus 1, 2 dan 3
Kasus | GCS** | Volume Perdarahan (ml) | GDS*** (mg/dL) | Reflek Pupil (+/-) | Total Skor PPH Huang et al., (2017) |
Total Skor PPH Meguro et al. (2015) |
---|---|---|---|---|---|---|
1 | 6 | 7,5 ml | 221 | ada | 4 | 1 |
2 | 11 | 39,3 ml | 130 | ada | 3 | 0 |
3 | 11 | 6,5 ml | 324 | ada | 3 | 1 |
Keterangan:
Ketiga kasus di atas memiliki refleks pupil masih ada. Tidak adanya refleks cahaya pupil dikaitkan dengan disfungsi batang otak yang parah, yang secara signifikan meningkatkan risiko kematian. Hal ini disebabkan karena refleks cahaya pupil dimediasi oleh jalur di batang otak; oleh karena itu, ketidakhadirannya menunjukkan kerusakan luas pada area kritis ini. Penyertaan refleks pupil sebagai komponen penilaian memungkinkan penilaian yang lebih akurat tentang tingkat keparahan gangguan neurologis.
Studi telah menunjukkan bahwa pasien dengan refleks cahaya pupil yang tidak ada memiliki tingkat kematian yang jauh lebih tinggi, menjadikan ini faktor penting dalam skor PPH untuk memprediksi kematian 30 hari dan membimbing keputusan pengobatan. Kelainan mata yang terdeteksi pada pasien, misalnya pinpoint pupils, medial longitudinal fasciculus syndrome, one and a half syndrome, ocular bobbing, dan skew deviation telah diamati pada beberapa studi PPP.20 Studi terbaru menunjukkan bahwa kelainan pupil (anisokoria, pupil menyempit, midriasis), pupil melebar, dan tidak adanya respons oculocephalic secara signifikan terkait dengan mortalitas.21,22
Banyak tanda mata yang terkait dengan PPH menunjukkan kerusakan pada batang otak oleh hematoma, tetapi sulit bagi dokter yang tidak berspesialisasi dalam neurologi untuk mendiagnosis gejala mata dengan benar di ruang gawat darurat. Oleh karena itu, skor ini fokus pada refleks cahaya pupil. Tidak adanya refleks cahaya pupil pada PPP menunjukkan disfungsi batang otak dan mudah dinilai.23
Kasus 1 melibatkan seorang wanita berusia 47 tahun dengan skor GCS awal 6, volume perdarahan 7,5 mL. Total skor ICH untuk pasien ini adalah 4 dengan mortality rate 97%, dan dengan skor perdarahan ICH-GS didapatkan total 10 yang dikaitkan dengan tingkat kematian signifikan (40%) dan komplikasi berat. Sementara itu, menggunakan skor Pendarahan Pontin Primer oleh Huang menunjukkan prognosis risiko tinggi yaitu 2 poin (42,7%), sedangkan untuk skor PPP Meguro yaitu 1 poin menunjukkan risiko menengah dengan tingkat kematian dalam 30 hari sekitar 33,3%. Meskipun mendapat perawatan agresif, pasien meninggal setelah 2 hari, kemungkinan karena gangguan neurologis yang signifikan yang terkait dengan GCS rendah dan perdarahan pada pons yang luas, yang merupakan prediktor kuat dari hasil yang buruk.
Kasus 2 menggambarkan seorang pasien laki-laki berusia 71 tahun dengan GCS awal 11, volume perdarahan 39,3 mL. Pasien ini memiliki skor ICH 3 (risiko sedang) dan skor ICH-GS 10 (risiko tinggi), sementara itu dengan skor PPP Huang 2 poin dan PPP Meguro 0 poin. Pasien bertahan selama 5 hari dalam perawatan sebelum meninggal dunia. Meskipun skor GCS relatif lebih baik dibandingkan dengan Kasus 1, volume perdarahan yang besar secara signifikan memengaruhi prognosis, menunjukkan bahwa baik GCS maupun volume perdarahan sangat penting dalam menentukan hasil.
Kasus 3 melibatkan seorang pasien berusia 44 tahun dengan GCS awal 11, volume perdarahan 6,5 mL. Skor ICH pasien ini adalah 3, dan skor total Pons Primer adalah 1. Pasien ini dapat pulang setelah 20 hari perawatan. Skor GCS yang lebih tinggi dan volume perdarahan yang lebih kecil kemungkinan berkontribusi pada prognosis dan pemulihan fungsional yang lebih baik, menyoroti pentingnya status neurologis awal dan luasnya perdarahan dalam memprediksi hasil.12,6,24,2 GDS pasien tersebut sangat tinggi dikarenakan pasien mempunyai faktor risiko yaitu Diabetes Mellitus.
Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa hiperglikemia reaktif, kejadian umum dalam fase akut stroke hemoragik, berhubungan dengan peningkatan kadar Gula Darah Sewaktu (GDS) akibat peningkatan kortisol dan katekolamin.25 Hiperglikemia memperburuk kerusakan neuron melalui beberapa jalur, termasuk peningkatan stres oksidatif, peradangan, dan gangguan pada penghalang darah-otak, yang dapat memperburuk edema serebral dan transformasi hemoragik.26,27 Hiperglikemia telah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dini dan hasil fungsional yang lebih buruk pada pasien dengan stroke hemoragik, baik dalam populasi penderita diabetes maupun non-diabetes. Keberadaan kadar glukosa darah tinggi pada saat masuk ke rumah sakit berfungsi sebagai prediktor independen mortalitas, yang menekankan perlunya kontrol glukosa yang ketat dalam mengelola pasien stroke hemoragik akut.28 Memahami dan mengurangi efek hiperglikemia reaktif penting untuk meningkatkan prognosis dan mengurangi komplikasi pada pasien stroke hemoragik.29
Skor Glasgow Coma Scale (GCS) yang lebih rendah umumnya berkorelasi dengan cedera otak yang lebih parah dan hasil yang lebih buruk, karena mencerminkan sejauh mana gangguan kesadaran dan disfungsi kognitif, yang umum terjadi pada stroke pons karena peran batang otak dalam fungsi vital seperti kewaspadaan dan regulasi otonom. Studi telah secara konsisten menunjukkan bahwa skor GCS awal adalah prediktor kuat dari prognosis, dengan skor yang lebih rendah berhubungan dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.12,30,7 Hal ini terutama penting dalam stroke pons, di mana penilaian status neurologis awal yang akurat dapat mempengaruhi intervensi yang dibutuhkan, yang pada akhirnya memengaruhi pemulihan pasien dan hasil jangka panjang.
Volume perdarahan yang lebih besar meningkatkan tekanan intrakranial, menyebabkan kompresi pada batang otak. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan neurologis yang cepat dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Studi telah menunjukkan bahwa pasien dengan volume perdarahan yang lebih besar cenderung memiliki hasil fungsional yang lebih buruk dan kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami cacat atau kematian jangka panjang.13,11,7 Selain itu, peningkatan volume dapat memperburuk cedera sekunder seperti hidrosefalus dan pergeseran garis tengah, yang lebih mempersulit manajemen klinis dan mengurangi kemungkinan pemulihan.
Skor perdarahan intraserebral (PIS) oleh Hemphill et al. adalah skala sederhana dan telah banyak divalidasi untuk memprediksi mortalitas dalam 30 hari. Skor ini dipuji karena kesederhanaan dan keandalannya, sehingga menjadi alat yang banyak digunakan di lingkungan klinis.6 Sementara itu, Skor ICH-GS yang diusulkan oleh Ruiz-Sandoval et al. (2007) membuat skor PIS terdahulu menjadi lebih komprehensif. Skor ini juga memprediksi mortalitas dalam 30 hari dan menawarkan spesifisitas serta sensitivitas yang lebih tinggi dalam mengevaluasi hasil, terutama pada pasien dengan presentasi klinis yang kompleks.8
Skor perdarahan pons primer (PPP) yang diusulkan oleh Meguro et al. dan Huang et al. menawarkan pendekatan yang berbeda dalam menilai prognosis pasien. Skor PPP dari Huang memasukkan dua faktor utama: Glasgow Coma Scale (GCS) dan volume perdarahan, memberikan poin berdasarkan tingkat keparahan masing-masing komponen. Sistem penilaian ini lebih rinci dan memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi pasien, sehingga menawarkan prediksi yang lebih mendetail tentang mortalitas dan hasil fungsional.11
Sebaliknya, skor dari Meguro lebih sederhana, berfokus pada GCS, refleks pupil, dan kadar glukosa darah. Meskipun kesederhanaan ini membuatnya lebih mudah diterapkan dalam pengaturan klinis, skor ini cenderung kurang deskriptif, berpotensi mengabaikan beberapa aspek keparahan perdarahan yang ditangkap oleh metode Huang.4
Penggunaan sistem penilaian prognosis erat kaitannya dengan manajemen terapeutik Primary Pontine Hemorrhage (PPP). Misalnya, pasien dengan skor PPP tinggi, yang menunjukkan gangguan neurologis yang parah dan risiko kematian tinggi, mungkin memerlukan intervensi yang lebih agresif seperti evakuasi bedah hematoma atau pengelolaan medis intensif untuk mengontrol tekanan intrakranial.10 Sebaliknya, pasien dengan skor lebih rendah mungkin mendapatkan manfaat dari perawatan yang kurang agresif dan fokus pada perawatan pendukung serta rehabilitasi.
Penilaian yang akurat memungkinkan optimalisasi strategi pengobatan, memastikan bahwa sumber daya dialokasikan dengan tepat, dan bahwa pasien menerima perawatan yang disesuaikan dengan pandangan prognosis mereka. Selain itu, pemahaman akan implikasi prognostik dari pendekatan terapeutik yang berbeda membantu dalam memberi nasihat kepada pasien dan keluarga tentang hasil yang diharapkan serta dalam membuat keputusan yang terinformasi mengenai tujuan perawatan.12
Jurnal lain menyebutkan bahwa usia muda, hematoma yang lebih kecil tanpa perluasan rostrokaudal, perdarahan unilateral, dan skor GCS yang lebih tinggi mungkin mendapatkan manfaat dari operasi. Hal ini dapat dilihat dalam komponen skor perdarahan intraserebral dan skor perdarahan pons primer.31
Prognosis untuk perdarahan intraserebral dan pontin dapat dievaluasi secara efektif menggunakan berbagai sistem skoring. Skor ICH oleh Hemphill et al. dan skor ICH baru yang dimodifikasi oleh Ruiz-Sandoval et al. memprediksi mortalitas 30 hari, dengan yang terakhir memasukkan variabel klinis tambahan untuk akurasi yang lebih besar.
Untuk perdarahan pontin, skor PPH Huang berfokus pada Glasgow Coma Scale (GCS) dan volume perdarahan, memberikan informasi prognostik yang terperinci, sedangkan skor PPH Meguro mencakup GCS, refleks pupil, dan kadar glukosa darah untuk penilaian yang lebih sederhana.
Skor-skor ini membimbing keputusan pengobatan dan alokasi sumber daya, sehingga berpotensi meningkatkan hasil bagi pasien.